Jumat, 30 November 2012

resensi


Judul Resensi Krepe ko

Judul  buku     : Telaga angsa
Pengarang       :  
Ø  Ahmad Tohari                           
Ø  Danarto
Ø  Putu Wijaya
Ø  Ratna Indraswari Ibrahim
Ø  Lan Fang
Penerbit           :   Duta Laksana
Tahun terbit     :   2012
Tebal buku      :
Buku antologi cerpen yang berjudul “telaga angsa ” ini disusun oleh siswa-siswi SMA N 2 Purbalingga kelas XII IPA 3 yaitu Bela Sekarini , Evri Fajar K., Norma Zerlina A., Ratih Panca S.S, Trian Palupi, Wakhyuni Windi Puji A. ,Yoki Pratama W. Cerpen berjudul Telaga Angsa dikarang oleh sastrawan asal Sragen yaitu Danarto. Buku ini terdiri dari delapan judul cerpen yang mempunyai tema tersendiri . Kumpulan cerpen ini memuat berbagai macam kisah yang menarik ,unik lucu, kocak, romantis. Kedelapan cerpen tersebut pernah dimuat di media massa.
Danarto, penulis asal Sragen ini mengenalkan cerpennya dengan menuangkan hal-hal yang berbau kebudayaan baik budaya timur maupun budaya barat. Penulis buku ini sangat menonjolkan kebudayaan, keagamaan, sosial. Dalam cerpen ini tokoh-tokohnya saling mempertahankan pendapatnya masing-masing, sehingga menimbulkan perdebatan antar tokoh.Buku ini menceritakan tentang seorang balerina bernama Zahra yang pergi ke pinggir telaga kemudian melihat beberapa ekor angsa sedang berenang di telaga, kemudian ia teringat  sebuah pertunjukan balerina yang ia tonton bersama keluarganya , ia teringat akan perdebatan antara dia dan kakeknya, beserta om dan tantenya.Kakeknya bersikukuh membela budaya timur yang penuh dengan kesopanan, keagamaan, dan menjunjung moral tinggi.Sedangkan cucunya yaitu Zahra tetap bersikukuh menjelaskan bahwa balet bukan merupakan pornografi dan pornoaksi.
Akan tetapi, alur cerita pendek ini tidak menentu. Memang menarik, tetapi bagi orang yang awam akan sulit dimengerti dan juga ceritanya tidak menyentuh jika sedih maupun tidak terlalu membuat kita tertawa jika ada yang lucu. Tetapi jika kita memaknainya, banyak nilai-nilai yang mudah dipelajari.
 Kekurangan dari buku antologi cerpen ini nampak bahwa bahasa yang digunakan kurang begitu dipahami oleh para pembaca.
Tetapi di balik kekurangan tersebut, buku ini memiliki kelebihan yang menarik. Yaitu bahasa yang digunakan menarik. Kehadiran buku ini di Indonesia layak untuk diapresiasi

Sabtu, 03 November 2012

ronggeng dukuh paruh


4. Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk: Mitos dan Masterpeace Ahmad Tohari
4.1 Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Mitos
 Dalam  RDP dikisahkan seorang calon ronggeng harus menjalani  upacara
ritual  bukak klambu. Konsep inisiasi ini bertolak dari pandangan bahwa seseorang
calon ronggeng baru sah menjadi ronggeng yang sebenarnya jika sudah melalui ritual
sakral dan salah satunya adalah  bukak klambu, semacam upacara sayembara
memperebutkan virginitas si calon ronggeng. Dalam hal ini seperti halnya seseorang
baru dianggap dewasa jika sudah melalui upacara tertentu, inisiasi, misalnya.
Pandangan semacam itu berasal dari konsep mitos.
 Mitos adalah sebuah dunia kemungkinan, sesuatu yang belum pasti, tetapi
mempengaruhi kehidupan manusia. Mitos itu sendiri dibentuk oleh realitas.
Keberanian atau ketakutan menghadapi sesuatu, misalnya, banyak ditentukan oleh
mitos. Sebab itu, mitos adalah realitas itu sendiri. Mitos juga timbul dari realitas dan
keadaannya selalu berubah-ubah sesuai dengan pandangan pribadi atau masyarakat
(Sitepu, 1984).
Agar sah menjadi ronggeng, Srintil harus mengalami  tiga tahapan upacara.
Proses inisiasi ini timbul dan bertolak dari mitos  atau kepercayaan yang selalu
diupacarakan. Di dukuh Paruk terdapat mitos  bahwa Dukuh Paruk tanpa ronggeng
terasa hambar. Para ibu di dukuh itu merasa senang  sekali jika anaknya dapat
menjadi ronggeng. Selain itu, para istri merasa bangga jika suami mereka dapat
bertayub dengan ronggeng.  
 Untuk menjadi seorang ronggeng, timbul suatu mitos bahwa seorang
ronggeng sejati bukanlah hasil pengajaran melainkan jika indang –semacam ruh atau
wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan— telah merasuki tubuhnya. Jika hal
itu hadir di dukuh Paruk, maka dukuh itu berada pada citra yang sebenarnya dan
arwah Ki Secamenggala –leluhur dukuh Paruk—akan terbahak di kuburnya.  10
  Dengan selesainya Srintil menjalani tiga tahapan  upacara, sahlah Srintil
sebagai ronggeng dan berhak menyandang gelar Ronggeng Dukuh Paruk. Pada umur
sebelas tahun Srintil yang masih lugu telah menjadi milik umum. Ia menjadi
ronggeng sekaligus sundal. Upacara  bukak klambu selain bernilai ekonomis juga
menjadi tonggak sejarah biologis hidupnya.  
 Dengan penampilan mitos dan upacara tersebut, novel RDP dapat dipandang
sebagai berikut:
Pertama, RDP merupakan pengukuhan (myth of concern) terhadap mitos  dan
upacara. Hal itu dapat dilihat pada persepsi Srintil yang menganggap upacara sebagai
sebuah keharusan dan karenanya ia tidak memberontak terhadap upacara itu. Ia
melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan lugu menghadapi upacara itu. Semua
yang dialami dipandang sebagai hukum keharusan sehingga harus diterima dengan
pasrah. Karena itu, walaupun ia merasakan sakit pada bagian perutnya ketika
menjalani upacara bukak klambu, ia tetap bertahan pada posisinya.  
Kedua, kepergian Rasus merupakan reaksi ketidaksetujunya (myth of
freedom) terhadap mitos dan upacara itu. Dalam persepsi Rasus, Srintil adalah figur
tempat ia menemukan figur ibunya. Ia tidak mau bersetubuh dengan Srintil di dekat
makam Ki Secamenggala –meskipun atas ajakan Srintil—bukan karena ia takut akan
kekramatan makam itu melainkan karena tubuh Srintil dianggapnya sebagai tubuh
ibunya sendiri, perempuan yang melahirkannya.
 Sebenarnya Rasus sangat memberontak terhadap mitos dan upacara-upacara
itu, terutama upacara  bukak klambu yang dianggapnya sebagai arena pembantaian
kemanusiaan. Membayangkan hal itu, ia merasa muak dan marah sebab melalui
upacara itu mustika yang dihargainya selama ini musnah sudah. Rasus merasa
kehilangan karena Srintil kini telah menjadi milik  umum. Ia sangat mengharapkan
Srintil tidak mau menempuh upacara bukak klambu dan memutuskan tidak menjadi
ronggeng tetapi ia tidak memiliki otoritas untuk menolak hukum keharusan itu.
Merasa tidak dapat lagi berkompromi dengan nilai-nilai lama warisan para
leluhurnya, Rasus akhirnya meninggalkan pedukuhannya yang terpencil itu untuk
mencari pengalaman hidup yang lain (atau kompensasi?) Namun, agaknya Tohari
optimis, “Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus sudah menemukan diriku sendiri. 11
Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan.” (RDP,
hlm. 106).
 Demikianlah,  RDP lebih terasa sebagai simbol daripada cerita. Kisah ini
merupakan penyampaian dalam bentuk lain –dalam hal ini bentuk novel I dari apa
yang dikemukakan Y.B. Mangunwijaya bahwa bangsa kita belum merdeka dari
kurun magis (dalam Waluyo, 1981: 88), sehingga mental seperti itu sangat
menghambat pembangunan (bandingkan Lubis, 1981: 32-37; Kuntjaraningrat, 1974:
45-46).
RDP mengemukakan tema yang sangat manusiawi. Seorang pemuda melihat
kemusnahan tentang perempuan ideal –sebagi ibu sekaligus kekasih—sehingga
melenyapkan cinta kasih yang murni, daya khayal, dan rasa kebersamaan. Tema
semacam itu lazim dalam masyarakat Barat, sehingga  tema novel  RDP boleh
dkatakan bersifat universal. Pendek kata, RDP merupaklan bildungs roman (Maier,
1984).
 Sebuah cerita menjadi sangat menarik karena kekuatan penceritaannya yang
luar biasa. Ada pula cerita yang menarik karena  kayanya informasi yang diberikan
pengarang. Sering pula cerita menarik karena kesegaran setting-nya, kesegaran dunia
yang diciptakan pengarang,  sebuah dunia baru yang memberi warna khas bagi
pengetahuan pembaca (Rampan, 1983). RDP termasuk paling tidak kategori kedua
dan ketiga –jika bukan ketiga kategori—  RDP memberikan kekayaan informasi
kepada pembaca dan melukiskan latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh orang desa yang
sederhana dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat menarik.
 Kekuatan pelukisan latar tempat dan latar sosial desa yang terasingkan dari
desa lain dengan demikian memiliki nilai lebih tersendiri. Betapa tidak?  RDP
diramaikan dengan banyaknya jenis satwa yang terdapat di dalamnya. Sedikitnya ada
20 jenis unggas, 16 jenis serangga, 11 jenis hewan menyusui, dan 5 jenis reptil serta
5 jenis hewan lainnya ikut berpentas dalam RDP. Dalam khasanah sastra Indonesia
barangkali baru RDP-lah yang berhasil menghimpun begitu banyak jenis binatang di
dalamnya, meskipun latar tempatnya hanya “gerumbul kecil di tengah padang yang
luas”.