Minggu, 08 Mei 2011

Pencuri Mayat


 ( 10 April 2011)

SEBELUMNYA, tidak pernah ada kejadian aneh di kampung ini. Tidak pernah ada beberapa orang yang menjaga kuburan kampung malam-malam. Dan, para peronda itu akan bertambah banyak bila ada kuburan yang baru diuruk, bila bertambah lagi kuburan baru dan berkurang penduduk kampung. Tidak pernah obrolan di warung kopi dipenuhi kata-kata mayat, penduso, kafan, dan kosakata lainnya yang berbau mistis dan berhubungan dengan hal-hal tersebut. Tidak pernah pula gunjingan ibu-ibu di teras rumah sambil saling mencari kutu ditaburi ucapan-ucapan tentang bunga kamboja, hantu, keranda, dan segala tetek-bengek pekuburan.
Semua bermula dari beberapa bulan yang lampau, ketika seorang penyabit rumput dengan wajah pucat berlari tergopoh-gopoh sepanjang jalan kampung sambil berteriak-teriak, “Ada kuburan dibongkar. Ada kuburan dibongkar!” Masih sangat pagi waktu itu. Ibu-ibu baru saja bubar dari mengerubung melijo sambil membawa ikan asin dan sayuran yang hendak dimasak, bapak-bapak masih menyiapkan cangkul dan menyeruput kopi sebelum pergi ke sawah, anak-anak yang masih sekolah mandi beramai-ramai di kali, dan balita-balita serta para pemuda pengangguran masih lelap di balik selimut.
Penyabit itu memang senantiasa menjadi yang paling awal memulai hari di kampung. Setelah subuhan di surau, ia bergegas mencari rumput untuk dua ekor sapinya agar tepat ketika bapak-bapak yang lain berangkat ke sawah, ia sudah mendapat dua ikat besar rumput segar untuk sapi-sapinya itu.
Dan, ia bisa ikut memburuh di sawah Pak Haji Jupri bersama beberapa bapak yang lain. Namun, pagi itu ia urung mencari rumput. Seperti pula ia urung memburuh di sawah Pak Haji Jupri. Seperti pula penduduk kampung yang lain yang urung ke sawah atau mencari kayu bakar di hutan pinggir kampung.
Tak butuh waktu lama bagi seluruh penduduk kampung itu untuk berkumpul, meninggalkan kesibukannya masing-masing dan keluar ke jalanan kampung. “Ada apa?” tanya salah satu dari mereka yang baru saja keluar setelah mengangkat gorengan mujairnya. “Tak tahu. Aku hanya mendengar suara rebut-ribut dari jalan. Lalu keluar. Padahal, aku baru mengulek sambel dan membikin uyahan untuk menggoreng tempe,” jawab seorang ibu berdaster lusuh dan bermuka bopeng, tapi mengilat karena minyak. “Ada kuburan dibongkar,” saut seorang bapak yang sudah lebih dulu keluar rumah. “Kuburan siapa?” “Kuburan Pak Rohmad.” “Pak Rohmad yang baru kemarin lusa meninggal?” “Ya.” Dan, seperti ada yang memerintahkan, semua orang bergerak menuju pekuburan.
Maka pada hari itu, setiap orang membicarakan tentang Pak Rohmad dan kuburannya yang dibongkar. Pak Rohmad yang gemuk dan bercucu tujuh. Pak Rohmad yang beristri dua dan murah senyum. Pak Rohmad yang setiap pagi suka jalan-jalan keliling kampung dan terkena diabetes. Pak Rohmad yang suka meminjamkan uang. Dan, Pak Rohmad yang juga suka mengenakan bunga tinggi untuk uang-uang yang dipinjamkannya itu.
Berbicara pula mereka tentang karma dan hal-hal mistik lainnya. Pemilik warung yang pertama memulainya. Pemilik warung yang pernah berutang 100 ribu pada Pak Rohmad untuk membayar uang gedung anaknya yang baru mau masuk sekolah menengah pertama, dan mesti mengembalikan 150 ribu. Dengan sinis pemilik warung itu bilang, “Itu karma karena semasa hidup Pak Rohmad suka membungakan uang. Aku berani bertaruh bahwa yang membongkar kuburan Pak Rohmad, yang mencuri mayat Pak Rohmad, bukanlah manusia melainkan malaikat. Mayat itu pasti diumpankan pada macan gunung. Huh, bahkan bumi pun tak mau menerima mayat lintah darat seperti dia.”
“Jangan sembarangan sampeyan kalau ngomong,” saut Pak Toyib. “Bisa diamuk keluarganya sampeyan nanti,” lanjutnya. “Itu pasti ulah orang yang sedang hitam,” lanjut yang lain. “Tidak mungkin. Pak Rohmad meninggal Senin pon. Biasanya orang yang itu butuh mayat yang matinya Selasa kliwon atau Jumat legi,” bantah yang lain. Pembicaraan-pembicaraan tentang Pak Rohmad dan pencuri mayatnya terus berlanjut sampai dua minggu setelah kejadian itu. Terus berlanjut. Terus berkembang dengan banyak tambahan di sana-sini.
Sampai kemudian ada pencurian mayat lagi. Bayinya Parto dan Sumi yang baru berumur delapan bulan di kandungan. Bayi yang terburu ingin melihat dunia dan terburu pula jenuh dengan dunia. Hanya setengah jam bayi itu bernapas. Bernapas dengan tersengal-sengal. Dan, setelah kepayahan tersengal-sengal selama setengah jam, bidan desa yang membantu persalinan Sumi bilang kalau bayi itu telah meninggal. “Prematur dan tak cukup peralatan untuk membantunya tetap bertahan hidup,” kata bidan tentang sebab kematian bayi itu yang disambut tangis Sumi dan Parto.
Parto dan Sumi lama sekali saling berangkulan dan menangis. Sudah hampir lima tahun mereka menikah dan belum juga dikaruniai anak. Kini, ketika anak yang mereka idam-idamkan itu lahir, maut keburu menjemputnya. Mereka merasa begitu sedih. Perasaan sedih itu kian menjadi-jadi ketika keesokan harinya, beberapa orang yang berangkat ke sawah melewati pekuburan desa, mendapati kuburan bayi itu telah rusak dan mayat di dalamnya raib. Persis seperti kejadian kuburan Pak Rohmad beberapa waktu sebelumnya.
Sungguh, tidak ada satu pun penduduk kampung yang mengira bila pencurian mayat Pak Rohmad bakal terulang lagi pada mayat bayi Sumi dan Parto. Pembicaraan tentang hilangnya mayat bayi itu mulai menggeser porsi obrolan tentang pencurian mayat Pak Rohmad.
“Apa kubilang, pencuri mayat Pak Rohmad itu bukan malaikat, bukan karena malaikat kesal dengan kelakuan Pak Rohmad yang suka membungakan uang. Bukan pula karena karma. Pencurinya pasti orang yang tengah ngelmu. Dan, ilmu itu pasti ilmu yang tinggi tingkatannya. Karena itulah pencuri itu juga membongkar kuburan bayi Sumi. Sebab, satu mayat tak cukup untuk ritualnya,” ucap seseorang di warung kopi. Pemilik warung yang merasa tersindir dengan ucapan itu cuma melengos sambil mengangsurkan gelas berisi kopi kepada Pak Haji Jupri yang baru datang.
“Tapi, mayat-mayat yang diambil itu kan tidak meninggal pada hari Selasa kliwon atau Jumat legi, jadi tidak bisa buat syarat orang yang tengah ngelmu,” saut seorang yang lain sembari memasukkan potongan pisang goreng ke mulutnya yang berbibir tebal. “Emang sampeyan sudah pernah ngelmu? Bisa saja kan beda ilmu beda syarat, beda guru beda syariat. Sampean tidak pernah dengar pepatah lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain belalang ya? Makanya, kalau sekolah dulu itu jangan suka membolos.”
Orang yang dituduh suka membolos waktu sekolah itu cuma tersenyum-senyum manyun sambil mengangguk-angguk, “Bagaimana kalau menurut Pak Haji Jupri?” tanya orang yang memulai pembicaraan tadi. “Ah, kalau saya ikut sajalah. Saya tidak paham masalah-masalah seperti itu,” jawab Pak Haji Jupri sembari menuang kopi banyak-banyak ke lepek.
Semenjak itulah penduduk kampung menjadi lihai berprasangka. Mereka saling mencurigai. Bila ada tetangga yang membeli televisi, mereka menggunjing, “Jangan-jangan dia yang mencuri mayat-mayat itu untuk pesugihan.” Begitu pula, bila ada tetangga yang biasanya berjamaah di surau, tiba-tiba tak ikut berjamaah, “Jangan-jangan dia. Sikapnya berubah aneh.” Mereka juga mencurigai setiap orang asing yang datang ke kampung itu. Penjual baju keliling, tukang bakso dari kampung sebelah, bahkan juga orang gila yang kesasar masuk kampung itu setelah tercakup operasi satpol pp di kota dan dilepas di hutan yang berada di tepi kampung itu.
Maka setiap orang memandang dengan sinis. Mereka masih sering membicarakan masalah hilangnya mayat-mayat itu di warung kopi atau sambil berbelanja. Mereka berbicara dengan keakraban yang sama dengan sebelum ada kejadian itu. Yang berbeda adalah jika sebelumnya keakraban itu terjadi secara alami, kini keakraban itu adalah keakraban yang dibuat-buat. Pandangan mata mereka juga berbeda, pandangan penuh kewaspadaan dan bau curiga.
Kewaspadaan itu kian menjadi-jadi sewaktu kepala kampung menggilir penduduk kampung untuk ronda di kuburan. Lebih-lebih sewaktu sebulan kemudian Pak Thoyib meninggal karena terjatuh dari atap sewaktu memperbaiki gentengnya yang bocor. Kepalanya yang pertama kali menyentuh tanah. Di tubuhnya hanya ada sedikit lecet dan memar. Namun dari telinga, hidung, mulut, dan kedua sudut matanya merembes darah segar. Pak Thoyib sempat dilarikan ke puskesmas kecamatan, namun tidak sempat tertolong. “Gegar otak parah,” kata perawat.
Dari sejak maghrib, beberapa penduduk yang kebagian giliran jaga telah berada di pekuburan. Beberapa saat kemudian jumlah peronda itu bertambah dengan kedatangan keluarga Pak Thoyib yang ingin ikut menjaga. Namun, tak ada hal aneh yang terjadi sampai shubuh. Begitu terus sampai tujuh hari setelah kematian Pak Thoyib.
Seusai tahlil hari ke-7 di rumah Pak Thoyib yang diimami Pak Hadi, si penjaga surau, kepala kampung mengatakan bahwa kampung ini telah aman dari gangguan pencuri mayat. Terbukti tidak ada hal mencurigakan setelah kematian Pak Thoyib. Jadi, penduduk tidak perlu lagi melakukan ronda di kuburan. Kepala kampung juga bilang akan bertanggung jawab penuh bila ada lagi mayat yang hilang.
Malam itu tak ada yang ronda di kuburan. Seperti yang diperintahkan kepala kampung. Suasana di pekuburan itu kembali ke fitrahnya, suram dan seram. Namun, tak ada yang tahu bila malam itu kepala kampung, Pak Haji Jupri dan dua orang hansip kepercayaan kepala kampung mendekam di balik semak seusai tahlil di rumah Pak Thoyib. Tidak ada penduduk lain yang tahu. Begitu pula, seseorang yang dalam gelap mengendap-endap menuju gundukan makam Pak Thoyib. Sekitar jam satu dini hari waktu itu. Seseorang itu tak tahu tindak-tanduknya tengah diawasi empat pasang mata dari balik semak. “Tunggu sampai dia beraksi. Baru kita sergap,” bisik kepala kampung. “Rencana kita menjebak pencuri itu berhasil,” bisik Pak Haji Jupri.
Dan, keempat orang itu segera bergerak cepat menyergap seseorang yang mengendap itu, seseorang yang kemudian mengeruk makam Pak Thoyib. Seseorang yang dapat dengan mudah mereka tangkap karena sama sekali tak melawan atau berusaha kabur begitu tahu aksinya terpergoki. Seseorang yang membuat keempat orang penangkapnya terkejut dan segera berseru bersamaan, “Pak Hadi!”
“Bagaimana bisa?” tanya Pak Haji Jupri setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia begitu akrab dengan Pak Hadi, penjaga surau yang hidup sebatang kara dan menggantungkan hidupnya dari sedekah jamaah surau yang dirawatnya. Pak Haji Juprilah yang paling kerap memberi uang atau makanan pada Pak Hadi, paling tidak seminggu sekali, setiap hari Jumat. “Saya lapar. Saya memakan daging mayat-mayat itu,” jawab Pak Hadi dengan terbata-bata. Keempat orang itu saling berpandangan. Pekuburan kembali sepi. Kembali suram. Kembali seram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar